Penerapan New Normal Sektor Pariwisata di Indonesia Keselarasan Antara Protokol Kesehatan dan Bangkitnya Pariwisata

PENERAPAN NEW NORMAL SEKTOR PARIWISATA DI INDONESIA:
KESELARASAN ANTARA PROTOKOL KESEHATAN DAN BANGKITNYA PARIWISATA

BALI – Liputan68.com | Pemerintah Indonesia, seperti disampaikan Presiden Joko Widodo telah mengambil kebijakan untuk memberlakukan pola baru dalam penanganan wabah covid-19 yang disebut sebagai kebijakan “New Normal”, kenormalan baru. Turunan kebijakan ini berbentuk relaksasi sektor ekonomi demi membangkitkan dan memulihkan kehidupan masyarakat Indonesia secara umum.

Inti dari kebijakan “New Normal” ini seperti disebutkan oleh Presiden Joko Widodo bahwa masyarakat  harus memulai kembali aktivitas kehidupan dengan kenormalan baru namun tetap disiplin dalam penerapan protokol kesehatan secara disiplin guna memutus mata rantai penularan wabah covid-19. Dalam bahasa Presiden Joko Widodo, masyarakat Indonesia harus hidup “berdamai” dengan wabah covid-19 sampai nanti vaksin penyembuh covid-19 ditemukan. Intinya adalah tetap disiplin dalam penerapan protokol kesehatan dalam melawan wabah covid-19, namun di sisi yang lain aktivitas ekonomi bisa tetap berlangsung.

Dalam ranah ilmu kebijakan publik (Public Policy), sebuah kebijakan yang dikeluarkan oleh sebuah institusi, seperti pemerintah tentu akan menimbulkan sikap pro dan kontra di masyarakat (publik). Ini telah menjadi phenomena umum bahwa dalam sistem ketatanegaraan yang menganut sistem demokrasi aspirasi yang berkembang dalam masyarakat akan ditanggapi dengan sikap setuju dan tidak setuju. Dalam sebuah pemerintahan yang baik dan demokratis maka setiap kebijakan yang akan dikeluarkan kiranya mampu mengakomodasi aspirasi yang berkembang di masyarakat, baik itu kelompok yang pro mau pun yang kontra.

Secara fakta, terlihat dalam berbagai pendapat masyarakat, di mana kebijakan New Normal yang digaungkan oleh pemerintahan Presiden Joko Widodo dalam penanganan wabah covid-19 di Indonesia ditanggapi dengan sikap pro dan kontra oleh publik, seperti dilaporkan berbagai media online dan offline. Sikap yang pro tentu menyambut dengan gembira atas kebijakan “New Normal”. Sikap pro ini dilandasi suatu pemikiran bahwa sektor ekonomi termasuk pariwisata harus bangkit kembali setelah sekitar tiga bulan berhenti total. Terhentinya aktivitas ekonomi dan bisnis masyarakat mengakibatkan “no income at all”, tidak ada pendapatan sama sekali alias pendapatan nol bagi mereka, sementara biaya operasional masih tetap harus keluar untuk listrik, pemeliharaan, satpam dll. Jadi banyak lembaga usaha yang mengalami defisit keuangan. Kondisi ini mempunyai pengaruh negatif terhadap kehidupan sosial ekonomi masyarakat. Karyawan dirumahkan, industri pendukung berhenti beroperasi, sektor primer seperti hasil pertanian tidak terserap dan usaha kecil – menengah terpukul, masyarakat luas kehilangan pekerjaan dan pendapatan.

Kelompok ini panik, dan bahkan sering dijumpai dalam tayangan TV di mana pedagang mengamuk tatkala ditertibkan karena mereka tetap membuka tokonya. Mereka menangis karena tidak bisa memberi makan anaknya dengan tanpa berjualan. Sampai sering terjadi ungkapan di kalangan mereka bahwa mereka dihadapkan pada ancaman mati karena corona atau mati karena kelaparan. Sudah pasti kita semua tidak menghendaki mati, baik karena Covid 19 atau pun karena kelaparan. Sampai-sampai ada yang membanding-bandingkan jumlah kematian yang dakibatkan oleh virus atau penyakit yang lain seperti DBD, TBC, MERS atau virus lainnya. Kematian karena DBD, TBC, MERS atau virus lainnya mungkin lebih banyak, tetapi tidak terekspose. Poin penting yang harus ditanggapi, masyarakat sudah merasa jenuh tinggal di rumah, jenuh tidak bekerja, khawatir tidak bisa membiayai hidup. Inilah antara lain pendapat dari kelompok yang menginginkan dibukanya kembali kehidupan baru, New Normal.

Sementara sikap yang kontra terhadap kebijakan “New Normal” melihat berbahaya bagi rakyat apabila aktivitas masyarakat mulai dilonggarkan. Hal ini karena masih tingginya kasus-kasus positif atas penyebaran covid-19 di berbagai wilayah di Indonesia. Masih susahnya memprediksi kapan wabah penyebaran covid-19 ini akan berakhir dan termasuk belum pastinya ditemukan vaksin covid-19 juga menjadi alasan kuat pihak yang menyatakan kebijakan “New Normal” belum waktunya diterapkan. Kelompok kontra ini khawatir jika kehidupan masyarakat dibuka kembali seperti sektor ekonomi (pariwisata) maka akan memunculkan klaster dan pasien baru covid-19. Koordinasi antar tingkat pemerintahan mulai dari pusat hingga daerah dipandang belum efektif serta ketersediaan rumah sakit untuk perawatan pasien covid-19 belum memadai dan kewalahannya tenaga medis merawat pasien covid-19 yang masih terus bertambah. Mereka secara moderat berpendapat bahwa ketika kasus-kasus pasien covid-19 sudah tidak ada lagi yang bertambah di berbagai wilayah, baru kemudian diambil kebijakan relaksasi kehidupan masyarakat seperti sektor ekonomi (pariwisata).

Bahkan pendapat pro-kontra ini tambah berkembang lagi, di mana kelompok yang belum menghendaki dibukanya aktivitas hari-hari masyarakat termasuk sektor ekonomi pariwisata, mengatakan bahwa mereka khawatir akan terjadi penyebaran paparan Covid 19 gelombang kedua (second wave). Ini lebih berbahaya dan semakin sulit pengendaliannya. Sementara itu, kelompok pro New Normal menyanggahnya bahwa terhentinya pergerakan masyarakat dan kegiatan ekonomi menyebabkan pertumbuhan ekonomi akan terus negatif, tingkat kesejahteraan terus menurun, kelaparan semakin dirasakan oleh banyak anggota masyarakat. Kondisi ini akan menimbulkan bahaya yang lain, di mana akan dapat menimbulkan phenomena baru.

Penurunan tingkat kesejahteraan, bertambahnya kelaparan, pertumbuhan ekonomi yang terus negatif dapat dipolitisasi untuk kepentingan tertentu, yang lebih lanjut dapat memperkeruh situasi dan mengganggu situasi keamanan. Kalau ini terjadi maka kerumitan situasi akan semakin kompleks. Terjadi pergeseran dari problematik ekonomi ke arah terganggunya situasi keamanan, kemudian diperkeruh lagi dengan pihak-pihak yang memanfaatkan situasi keruh ini untuk suatu kepentingan maka terjadilah situasi benang kusut bahkan keos. Lalu, untuk mengatasi dua jenis bahaya yang berbeda ini apa solusinya?

Nah dalam konteks dilematis yang berkembang di masyarakat ini maka Pemerintah layak hadir secara bijak dengan mewujudkan “New Normal” atau kenormalan baru sebagai suatu keselarasan antara praktik protokol kesehatan secara disiplin dan juga memperkenankan kepada masyarakat untuk membuka kembali aktivitas ekonomi hari-hari, termasuk kegiatan pariwisata.

Pemberlakuan kebijakan kenormalan baru ini kiranya dapat diterapkan secara konsisten dan tidak setengah hati. Pemerintah yang memainkan peran sebagai regulator, sekaligus sebagai katalisator dan fasilitator kiranya dalam posisi untuk terus menerus mensosialisasikan langkah-langkah penanggulangan penularan Covid 19, menyediakan alat medis yang memadai, rumah sakit rujukan dan tenaga medis yang cukup, dan di sisi yang lain memfasilitasi pergerakan perekonomian masyarakat secara lancar. Sektor pariwisata Bali sejak bulan Februari boleh dikatakan sudah berhenti, praktis sejak bulan Februari 2020 atau sekitar 4 bulan.

BAGIKAN KE :
  Banner Iklan Sariksa

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *