Tinjauan Hukum Terbitnya (SHM) Dengan Cacat Yuridis

Liputan KOLOM854 views

LIPUTAN68.COM—Indonesia merupakan Negara yang berlandaskan hukum. Semua yang menyangkut kesejahteraan umum sudah diatur dalam Undang-undang bentuk peraturan-peraturan tertulis dengan demikian sebuah kepastian hukum seseorang pada hakikatnya sudah terjamin oleh konsitusi indonesia.

Di dalam sistem hukum Nasional demikian halnya dengan hukum tanah, maka harus sejalan dengan kontitusi yang berlaku di Negara kita yaitu Undang-undang Dasar 1945. Pasal 33 ayat (3) Undang-undang Dasar Tahun 1945, yang mengatakan bahwa:

“Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya, yang penguasaannya ditugaskan kepada Negara Republik Indonesia, harus dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran Rakyat.”

Di samping itu, saat ini tanah merupakan obyek investasi dan mengakibatkan nilai harga tanah akan semakin menjulang tinggi. Dalam rangka menjamin kepastian hukum dan perlindungan hukum bagi pemilik tanah harus tersedia perangkat hukum pertanahan yang tertulis, lengkap dan jelas dalam Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang pendaftaran tanah.

Pasal 1 Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, memberikan rumusan mengenai pengertian pendaftaran tanah. Pendaftaran tanah adalah rangkaian kegiatan yang dilakukan oleh Pemerintah secara terus menerus, berkesinambungan dan teratur, meliputi pengumpulan, pengolahan, pembukuan dan penyajian serta pemeliharaan data fisik dan data yuridis, dalam bentuk peta dan daftar, mengenai bidang-bidang tanah dan satuan-satuan rumah susun, termasuk pemberian sertifikat sebagai surat tanda bukti haknya bagi bidang-bidang tanah.

Tujuan pendaftaran tanah dalam PP No. 24 Tahun 1997 adalah memberikan kepastian hukum dan perlindungan hukum, menyediakan informasi kepada pihak-pihak yang berkepentingan dan terselenggaranya tertib administrasi pertanahan. Pasal 4 PP No. 24 Tahun 1997 selanjutnya menegaskan bahwa “untuk memberikan kepastian dan perlindungan hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf a kepada pemegang hak yang bersangkutan diberikan sertipikat hak atas tanah”.

Jadi dapat dikatakan bahwa upaya untuk mewujudkan kepastian terhadap hak-hak atas tanah dilaksanakan antara lain dengan penerbitan suatu dokumen yang mempunyai kekuatan hukum yang sempurna yakni sertifikat hak atas tanah.

Dalam Undang-undang Pokok Agraria tidak pernah disebutkan sertifikat tanah, namun seperti yang dijumpai dalam pasal 19 ayat (2) huruf c ada disebutkan surat tanda bukti hak. Dalam pengertian sehari-hari surat tanda bukti hak ini sering ditafsirkan sebagai sertifikat tanah. sertifikat adalah surat tanda bukti hak, oleh karena itu telah kelihatan berfungsinya, bahwa sertifikat itu berguna sebagai alat bukti. Alat bukti yang menyatakan tanah ini telah diadministrasi oleh Negara.

Dengan dilakukan administrasinya lalu diberikan buktinya kepada orang yang mengadministrasikan tersebut. Hukum melindungi pemegang sertifikat tersebut dan lebih kokoh bila pemegang itu adalah namanya yang tersebut dalam sertifikat. Sehingga bila yang memegang sertifikat itu belum namanya maka perlu dilakukan balik namanya kepada yang memegangnya sehingga terhindar lagi dari gangguan pihak lain.

Ketentuan Pasal 19 ayat (2) huruf c UUPA, sertifikat hak atas tanah merupakan alat bukti yang kuat, artinya: harus dianggap yang benar sepanjang tidak dapat dibuktikan sebaliknya di Pengadilan dengan alat bukti yang lain. Bahwa surat-surat tanda bukti hak itu berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat berarti, bahwa keterangan-keterangan yang tercantum di dalamnya (oleh hakim) sebagai keterangan yang benar, selama dan sepanjang tidak ada alat pembuktian yang lain yang membuktikan sebaliknya. Dalam hal yang demikian maka Pengadilanlah yang akan memutuskan alat pembuktian yang benar. Dengan kata lain, dengan masih adanya peluang para pihak mengadakan tuntutan hukum terhadap pemegang sertifikat hak atas tanah, dapat disimpulkan bahwa kekuatan hukum sertifikat hak atas tanah tidaklah mutlak.

Berdasarkan Pasal 1 angka 7 UU Administrasi Pemerintahan, yang menegaskan bahwa Keputusan Administrasi Pemerintahan yang disebut dengan Keputusan TUN atau Keputusan Administrasi Negara yang selanjutnya disebut Keputusan adalah ketetapan  tertulis yang dikeluarkan oleh Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan dalam penyelenggaraan pemerintahan. Berdasakan Pasal 1 angka (3) UU PTUN Kedua yang menegaskan bahwa keputusan atau penetapan (beschikking ), adalah suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh badan atau pejabat TUN yang berisi tindakan hukum TUN yang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang bersifat konkrit, individual dan final yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang dan badan hukum perdata.

Serifikat hak atas tanah adalah suatu produk Pejabat Tata Usaha Negara  sehingga atasnya berlaku ketentuan-ketentuan hukum administrasi Negara. Atas perbuatan hukum tersebut seseorang selaku pejabat tata usaha Negara dapat saja melakukan perbuatan yang terlingkup sebagai perbuatan yang melawan hukum baik karena kesalahan (schuld) maupun akibat kelalaian menjalankan kewajiban hukumnya. timbul permasalahan hak-hak atas tanah.

Atas perbuatan yang salah atau lalai tadi menghasilkan produk hukum sertifikat yang salah, baik kesalahan atas subyek hukum dalam sertifikat maupun kesalahan atas hukum dalam sertifikat tersebut. Kesalahan mana telah ditenggarai dapat terjadi dalam berbagai proses pendaftaran tanah. sebagaimana dari hasil catatan Badan Pertanahan Negara tentang kasus sengketa tanah yang terjadi di Indonesia ini, faktor utama penyebabnya adalah masalah administrasi sertifikat yang tidak jelas, distribusi kepemilikan tanah yang tidak merata, dan legalitas kepemilikan tanah yang semata-mata pada sertifikat saja, tanpa memperhatikan produktivitas tanahnya.

Di Dalam Pasal 107 Permen Agraria 9/1999 disebutkan bahwa  Cacat hukum administratif sebagaimana dimaksud dalam pasal 106 (1)  adalah :

a. kesalahan prosedur

BAGIKAN KE :
  Banner Iklan Sariksa

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *