DENPASAR – Perkara dugaan penggelapan proyek The Umalas Signature dengan terdakwa Budiman Tiang, 48, (BT) kembali berlanjut di Pengadilan Negeri (PN) Denpasar, Selasa (16/12/2025). Dalam sidang dengan agenda duplik tersebut, tim penasihat hukum terdakwa menyoroti pengakuan Jaksa Penuntut Umum (JPU) yang menyatakan kerja sama proyek telah berakhir per 1 November 2025, namun hingga kini tanah dan bangunan The Umalas Signature justru masih dikuasai pihak pelapor.
Dalam persidangan, duplik terdakwa dan penasihat hukumnya dari Berdikari Law Office yang dikomandoi oleh Gede Pasek Suardika disampaikan sebagai jawaban atas replik JPU I Dewa Gede Anom Rai. Pada intinya, pembelaan menegaskan kembali posisi bahwa seluruh unsur Pasal 372 KUHP tentang penggelapan yang sebelumnya dituntutkan kepada terdakwa telah gugur berdasarkan fakta-fakta persidangan yang terungkap.
Tim penasihat hukum menilai replik JPU tidak menjawab substansi pembuktian di persidangan dan hanya mengulang Berita Acara Pemeriksaan (BAP) yang dinilai telah patah. Salah satu poin krusial justru muncul dari replik JPU itu sendiri, ketika JPU secara tegas menyatakan bahwa kerja sama antara terdakwa dengan PT Samahita Umalas Prasada (SUP) bersifat terbatas waktu.
Dalam repliknya, JPU menegaskan bahwa kerja sama pembangunan The Umalas Signature bersifat sementara dan telah berakhir dengan sendirinya. Hal tersebut disampaikan JPU dengan menyatakan kerja sama antara terdakwa dan PT SUP hanya diberikan paling lama selama empat tahun, terhitung sejak 1 November 2021 hingga 1 November 2025, dan setelah lewat waktu tersebut tanah SHGB beserta bangunan yang berdiri di atasnya kembali kepada terdakwa.
Pengakuan ini, menurut penasihat hukum, justru menegaskan bahwa hak atas tanah dan bangunan kembali sepenuhnya kepada Budiman Tiang setelah 1 November 2025. Namun, fakta di lapangan menunjukkan aset tersebut masih dikuasai oleh pihak lain, sehingga memunculkan pertanyaan serius terkait logika penempatan terdakwa dalam perkara ini.
Menurut tim pembela, pengakuan JPU tersebut justru memperlihatkan kontradiksi mendasar dalam perkara ini. Sebab, meskipun JPU menyatakan hak atas tanah dan bangunan telah kembali sepenuhnya kepada Budiman Tiang sejak 1 November 2025, fakta di lapangan menunjukkan aset tersebut hingga kini masih dikuasai oleh PT SUP tanpa dasar hukum yang jelas.
Penasihat hukum dalam dupliknya juga menegaskan objek perkara merupakan milik sah terdakwa, sementara bangunan yang disebut-sebut sebagai objek penggelapan justru tidak berada dalam penguasaan terdakwa. Selain itu, tim pembela menekankan tidak adanya niat jahat (mens rea), tidak adanya perbuatan melawan hukum, tidak adanya kerugian yang terbukti secara nyata, serta tidak adanya korban yang dihadirkan dalam persidangan.
Hingga akhir pembuktian, JPU juga dinilai gagal menunjukkan objek penggelapan yang jelas, kerugian yang terukur, pihak yang dirugikan, maupun keuntungan yang dinikmati oleh terdakwa. Atas dasar itu, tim penasihat hukum menempatkan perkara ini sebagai sengketa bisnis atau perdata yang dipaksakan masuk ke ranah pidana.
Penggunaan Pasal 372 KUHP dalam perkara ini dinilai berpotensi menjadi bentuk kriminalisasi sengketa bisnis. Jika pola tersebut dibiarkan dan berujung pada pemidanaan, tim pembela menilai setiap sengketa usaha berpotensi dikriminalisasi, kepastian hukum bagi pelaku usaha lokal menjadi terancam, serta iklim investasi di Bali dapat terdampak secara serius.
Gede Pasek Suardika menegaskan seluruh unsur Pasal 372 KUHP telah runtuh di persidangan. “Jaksa tetap memaksakan dakwaan tanpa pernah mampu menunjukkan objek penggelapan yang jelas, tanpa korban, tanpa kerugian, dan tanpa keuntungan bagi Terdakwa,” tegasnya. Ia juga menyoroti fakta bahwa bangunan bernilai ratusan miliar justru dikuasai pihak pelapor. “Secara hukum, mustahil seseorang menggelapkan sesuatu yang tidak ia kuasai, apalagi miliknya sendiri,” ujarnya.
Menurut Pasek, replik JPU tidak menjawab fakta persidangan dan hanya mengulang BAP yang telah patah seluruhnya. Ia juga menegaskan bahwa tidak satu pun konsumen yang diklaim dirugikan pernah dihadirkan di persidangan sebagai saksi.
Selain perkara pidana, Gede Pasek juga menyinggung berlanjutnya gugatan perbuatan melawan hukum terhadap Kombes Pol Rachmat Hendrawan dan Irjen Pol Daniel Adityajaya ke pokok perkara. Hal itu merujuk pada putusan sela PN Denpasar tertanggal 10 Desember 2025 yang menolak seluruh eksepsi tergugat terkait kewenangan mengadili. Menurutnya, hal tersebut menegaskan bahwa proses hukum harus berjalan di jalur yang benar, tanpa tekanan di luar persidangan.
Ia berharap putusan majelis hakim nantinya didasarkan pada fakta persidangan dan hukum, bukan asumsi atau tekanan. Perkara ini, menurutnya, menjadi ujian keberanian hakim dalam menegakkan keadilan dan asas due process of law.
Senada disampaikan penasihat hukum lainnya, Komang Nila Adnyani. Ia menegaskan perkara pidana tidak dapat berdiri tanpa unsur-unsur pokoknya. “Bagaimana mungkin terjadi pemidanaan dalam perkara pidana tanpa korban, tanpa kerugian, dan tanpa bukti adanya keuntungan pribadi dari terdakwa,” tukasnya.
Sementara itu, terdakwa Budiman Tiang dalam keterangannya justru menyampaikan apresiasi kepada Penuntut Umum. Ia menyebut replik JPU telah menegaskan secara hukum bahwa kerja sama dengan PT SUP berakhir pada 1 November 2025 dan sejak saat itu tanah SHGB beserta bangunan The Umalas Signature atau The One Umalas kembali sepenuhnya kepada dirinya.
“Pernyataan itu bukan klaim saya, tetapi pengakuan hukum dari Penuntut Umum sendiri,” ujar Budiman Tiang. Ia menambahkan, ironisnya hingga hari ini tanah dan bangunan tersebut masih dikuasai PT SUP tanpa dasar hukum apa pun. “Berdasarkan logika hukum yang ditegaskan Penuntut Umum sendiri, penguasaan tanpa hak justru dilakukan oleh PT SUP, bukan oleh saya,” katanya.
Dengan berakhirnya sidang duplik, perkara Budiman Tiang kini memasuki fase penentuan. Gugurnya unsur pidana penggelapan dan masih berjalannya perkara perbuatan melawan hukum di jalur perdata menjadikan putusan majelis hakim nantinya dinilai sebagai ujian integritas peradilan, sekaligus preseden penting bagi kepastian hukum dan iklim usaha di Bali.
Sidang selanjutnya adalah agenda putusan. Majelis hakim telah menjadwalkan pembacaan putusan perkara ini pada 8 Januari 2026 mendatang.
Untuk diketahui, sebelumnya dalam sidang tuntutan, JPU telah menuntut Budiman Tiang dengan pidana penjara selama 3 tahun 6 bulan. JPU menilai terdakwa terbukti melanggar Pasal 372 KUHP tentang penggelapan, dengan alasan perbuatan terdakwa dinilai menimbulkan kerugian material dalam jumlah besar serta berdampak pada kepercayaan investor dan kelanjutan proyek properti tersebut. (Rd?)








