Denpasar, LIPUTAN68 | Ketua Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HSNI) Kota Denpasar, Wayan Suteja, menyoroti kekhawatiran masyarakat nelayan kecil di kawasan Pulau Serangan terkait izin Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang Laut (PKKPRL) yang diajukan PT Bali Turtle Island Development (BTID). Menurut Suteja, nelayan Serangan khawatir izin tersebut akan membatasi ruang gerak mereka dalam mencari nafkah di laut dan pesisir yang selama ini menjadi tumpuan hidup.
“Kami nelayan kecil di Denpasar waswas, pemberian PKKPRL kepada investor seperti BTID ini nanti justru mengklaim laut dan pesisir sebagai milik mereka. Nelayan bisa-bisa dilarang beraktivitas, seperti yang kami dengar terjadi di Kepulauan Seribu,” kata Suteja, Jumat (9/5/2025).
Ia menegaskan, hingga kini belum ada sosialisasi resmi kepada nelayan terkait sejauh mana permohonan PKKPRL BTID. “Sepengetahuan kami, sampai sekarang belum ada sosialisasi langsung ke nelayan. Padahal ini menyangkut ruang hidup kami,” ujarnya.
Kekhawatiran nelayan Serangan sebelumnya sempat memuncak pada 2023, ketika BTID memasang pembatas berupa pelampung di kawasan laguna. Aksi tersebut sempat memicu protes keras dari nelayan, hingga akhirnya pelampung itu dicabut atas perintah Dinas Perikanan Provinsi Bali.
“Saat kami audiensi bersama Forum Krama Bendega Bintang Laut Kota Denpasar dengan Dinas Perikanan Provinsi, mereka sampaikan izin yang sudah dimiliki BTID adalah untuk pemanfaatan ruang laut di laguna. Itu yang sempat dipasangi pelampung, dan sudah dilepas karena desakan nelayan,” terang Suteja.
Sementara itu, pihak BTID melalui Head of Communications and Community Relations, Zakki Hakim, sebelumnya menyatakan bahwa pengajuan PKKPRL adalah bagian dari kewajiban badan usaha untuk membayar Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP), sebagaimana diatur dalam UU Cipta Kerja. Zakki memastikan izin itu tidak akan menghalangi aktivitas nelayan tradisional.