Rumah Sakit Milik Keraton Surakarta

Oleh Dr. Purwadi, M.Hum. 

(Ketua Lembaga Olah Kajian Nusantara LOKANTARA. hp. 087864404347)

A. Rumah Sakit Pantirogo Kadipolo

Sunan Paku Buwono X selalu memperhatikan kesehatan rakyatnya. Beliau mendirikan Rumah Sakit Pantirogo Kadipolo. KRT Sosro Hadikoesoemo, Bupati terkemuka (1901-1936) tiap tanggal 16 Suro selalu mengadakan konferensi di kota Surakarta. Kebetulan beliau bersahabat karib dengan dr. Rajiman Widyodiningrat dan dr. Soetomo.

Beliau bertiga pada tanggal 16 Suro 1920 berdiskusi tentang arti pelayanan kesehatan bagi masyarakat. Sehari kemudian tercetuslah ide untuk mendirikan hospital di wilayah Kertosono, pada hari Jumat Kliwon, tanggal 17 Suro atau 1 Oktober 1920.

Rumah Sakit Kadipolo terletak di Jalan Dr. Rajiman Widyodiningrat dengan lahan seluas + 2,5 Ha. Didirikan pada masa pemerintahan Sunan Paku Buwono X.

Pada tahun 1948 pengelolaannya diserahkan kepada Pemda Surakarta disatukan dengan pengolahan Rumah Sakit Mangkubumen dan Rumah Sakit Jebres. Namun dengan syarat bahwa keluarga kraton dan pegawai kraton yang dirawat di rumah sakit tersebut mendapat keringanan pembiayaan.

Tahun 1960 pihak kraton menyerahkan Rumah Sakit Kadipolo sepenuhnya termasuk investasi bangunan berikut seluruh pegawai dan perawatnya kepada Pemda Surakarta. Rumah sakit ini pada mulanya adala klinik untuk abdi dalem kraton.

Tanggal 1 Juli 1960 mulai dirintis penggabungan Rumah Sakit Kadipolo dengan Rumah Sakit Jebres dan Mangkubumen di bawah satu direktur yaitu dr. Sutejo. Kemudian masing masing rumah sakit mengadakan spesialisasi, RS Jebres untuk anak anak, RS Kadipolo untuk penyakit dalam dan kandungan serta RS Mangkubumen untuk korban kecelakaan.

Suatu tonggak dalam sejarah ilmu kedokteran di Jawa adalah didirikannya rumah sakit pertama di Kadipolo ini. Pada waktu itu di seluruh Jawa, termasuk Batavia, tidak terdapat rumah sakit sipil.

Pada 27 April 1819, PH van Lawick van Pabst, Resident Batavia, mengirim surat kepada Gubernur Jenderal Baron van der Capellen (1819-1826) dengan keluhan tentang cara perawatan penderita sipil yang tidak manusiawi. Dulu untuk penderita sipil masih disediakan tempat di Binnen Hospitaal, tetapi sejak rumah sakit tersebut ditutup penderita sipil terpaksa dirawat di penjara bersama narapidana yang bertentangan sepe nuhnya dengan prinsip prinsip perikemanusiaan.

Warga mengajukan permintaan untuk dibangun gedung kecil yang terdiri atas beberapa ruangan dan kantor untuk dijadikan rumah sakit sipil. Pada 1919 telah dibangun Centraal Burgerlijke Ziekenhuisatau atau Rumah Sakit Sipil Pusat di Salemba yang sekarang dikenal seba-gai RSUP Dr. Cipto Mangunkusuma.

Rumah Sakit Kadipolo pertama kali hanya memiliki 6 spuwbalies (tempat ludah), 12 blikken drinkbekers (kaleng minum), 30 ligmatjes (tikar tidur), 30 leeren hoofdkussens (bantal dilapisi kulit), 20 blikken eetbakjes (mangkok makan dari kaleng), linnen voor verband (kain untuk pembalut), 2 draagbalies (tandu), satu set amputatie instrumenten (peralatan untuk amputasi), dan satu set untuk trepanasi, satu kotak scalpellen (skalpel), selusin onderschep en hegt naalden (jarum jahit), dan 6 lanset.

Rumah Sakit Kadipolo yang merupakan rumah sakit sipil pertama di Jawa, dengan perlengkapan yang sangat sederhana akan dimanfaatkan selama bertahun tahun. Pelayanan kesehatan ditentukan oleh kebijakan Sunan. Awalnya hanya untuk abdi dalem namun kemudian meluas untuk rakyat setempat.

Pelayanan kesehatan menjadi tanggung jawab pemerintah kasunanan. Pelayanan kesehatan dilaksanakan di Rumah Sakit Kadipolo jaman Sunan Paku Buwono X dilaksanakan oleh dokter lulusan universitas dari Eropa dan dokter Jawa lulusan STOVIA di Batavia, salah satunya adalah dokter Rajiman Widyodiningrat.

Akhirnya, Soetomo memilih langkah dengan mendermakan hidupnya membantu kesehatan masyarakat. Konsekuensinya, dia mesti melupakan sejenak aktivitas politiknya.

Walaupun, dalam beberapa kesempatan dirinya sempat menyampaikan cita cita kaum pergerakan. Tanggal 30 Mei 1938, bangsa Indonesia kehilangan salah satu putra terbaiknya. Soetomo wafat setelah berbuat banyak bagi bangsanya. Untuk mengenang jasanya, Soetomo dimakamkan di Gedung Nasional Bubutan, Surabaya. Dan pada tahun 1961, tokoh yang selalu didukung oleh Sunan Paku Buwono X ini dikukuhkan sebagai Pahlawan Pergerakan Nasional.

Dengan berdirinya Budi Utomo, banyak bangsawan dan priyayi ikut terjun dalam pergerakan nasional. Budi Utomo terus melakukan perluasan organisasi dengan membuat cabang cabang di seluruh Indonesia. Di Solo, nama yang dapat dihubungkan dengan Budi Utomo, nama yang sangat menonjol adalah Raden Mas Arya Wuryaningrat, seorang bupati nayaka yang menjadi menantu Sunan Paku Buwono X.

Jelas Ia adalah cucu Paku Buwono IX, karena ibunya adalah putri Paku Buwono IX atau kakak Paku Buwono X. Sunan mendorong Raden Mas Arya Wuryaningrat untuk melakukan pergerakan melalui organisasi ini.

Perannya dalam Budi Utomo dimulai dari kedudukannya sebagai Ketua Budi Utomo Cabang Surakarta, kemudian dalam kongres di Surabaya, ia terpilih sebagai Ketua Pengurus Besar Budi Utomo untuk masa bakti 1916-1921. Pada kongres berikutnya (1921) Pangeran Arya Hadiwijoyo terpilih sebagai ketua, tetapi pada 1922 jabatan itu dilepaskan, dan jabatan ketua diwakili oleh dokter Rajiman Widyadiningrat seorang abdi dalem berpangkat kliwon. Budi Utomo Cabang Surakarta berkantor di Kasunanan.

Wuryaningrat terpilih lagi sebagai ketua Budi Utomo untuk masa bakti 1922-1925, kemudian untuk masa bakti 1933-1935, dan sesudah dokter Soetomo meninggal pada 1938, Wuryaningrat menduduki jabatan Ketua Parindra untuk masa jabatan 1939-1941.

BAGIKAN KE :

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *