SUKAMISKIN, LIPUTAN68.COM | Otto Cornelis Kaligis atau yang dikenal dengan OC Kaligis pria kelahiran Ujung Pandang Sulawesi Selatan, 19 Juni 1942, dikenal sebagai pengacara senior dan telah memiliki pengalaman dalam beragam kasus. Siapa yang tak tahu kiprah pria sepuh ini. Sayang, Pada 14 Juli 2018, ia ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK. Penetapan tersebut terkait kasus dugaan suap hakim dan panitera Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) di Medan, Sumatera Utara.
Pada tanggal 29 Maret 2020, pengacara senior ini, mengirim sebuah surat dari balik jeruji kepanikan Lapas Sukamiskin untuk Presiden Republik Indonesia. Tradisi berkirim surat kepada Presiden bukan kali pertama dilakukan oleh OC Kaligis. Surat ini berbentuk petisi lebih tepatnya.
Namun yang lebih penting dari itu adalah kebijakan presiden untuk memberikan toleransi pembebasan bagi Warga Binaan Lembaga Pemasyarakatan yang kini di himpit oleh ketakutan covid-19. Sebab, pertaruhan antara hidup dan mati.
Atas kecemerlangan serta kemuliaan Bapak Presiden Republik Indonesia Ir Joko Widodo, masyarakat warga Negara Indonesia akan mendukung penuh, jika toleransi diberikan kepada Warga binaan Lembaga Pemasyarakatan seluruh indoneska, seperti kebijakan Presiden Negara lain kepada rakyatnya.
Surat tersebut, berisikan tentang belasungkawa atas meninggalnya Ibunda sang Presiden. Meski tak seiman, OC Kaligis mendoakan almarhumah Ibunda Jokowi dapat beristirahat dengan tenang di surga illahi. Sebuah sikap moral yang tinggi dalam bernegara. Bukan merupakan intinya.
Yang menjadi inti dalam surat ini adalah permohonan amnesti atau pembebasan bagi seluruh warga binaan Lembaga Pemasyarakatan di Indonesia. Dengan alasan peri kemanusiaan sesuai falsafah Pancasila yang kita anut. Dan berdasarkan UU No. 12 Tahun 2005 Tentang Pengesahan Kovenan Internasional Tentang Hak-Hak Sipil Dan Politik sebagai Instrumen internasional. Mengingat kepanikan dunia menghadapi virus mematikan yaitu Corona.
Instrumen internasional yang dicantumkan OC Kaligis dalam petisinya bermaksud menegaskan bahwa instrumen internasional ini tidak bertentangan dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, sesuai dengan sifat negara Republik Indonesia sebagai negara hukum yang menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia yang menjamin persamaan kedudukan semua warga negara di dalam hukum, dan keinginan bangsa Indonesia untuk secara terus-menerus memajukan dan melindungi hak asasi manusia dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.