Mediasi Dipastikan 100 Persen Gagal, Purwa Arsana Dibully Krama Desa Bugbug

Karangasem, LIPUTAN68| Kasus gugatan perdata yang dilayangkan oleh Bendesa Adat Bugbug, I Nyoman Jelantik yang diberikan kuasa oleh krama Desa Adat Bugbug untuk menggugat secara perdata Kelian Desa Adat Bugbug, I Nyoman Purwa Arsana nampaknya akan berbuntut panjang. Apalagi ratusan massa yang kembali mengepung Kantor Pengadilan Negeri (PN) Amlapura, Karangasem, pada Selasa, 23 Januari 2024 sepertinya sudah tersulut emosi, akibat ulah oknum Anggota DPRD Bali itu. Alhasil, kedatangan lebih dari 700 krama Desa Adat Bugbug itu, secara spontan hadir untuk memberi dukungan untuk memproses gugatan tersebut, karena sidang mediasi yang berlangsung disinyalir tetap menuju jalan buntu. Bahkan, rasa kekesalan krama Bugbug itu, diluapkan, pada sidang mediasi dengan membully Purwa Arsana, saat keluar dari gedung PN Amlapura.

“Agenda mediasi sidang gugatan perdata lahan Neano Resort, Purwa Asana dibully krama sendiri,” ungkap Kuasa Hukum Penggugat dari Bantuan Hukum Keluarga Besar Karangasem Bersatu, Ida Bagus Putu Agung, SH., kepada awak media, seraya menjelaskan 100 persen mediasi tersebut dipastikan gagal, karena intinya krama Desa Bugbug ingin agar lahan itu dikembalikan seperti keadaan semula. Karena itulah, Krama Desa Bugbug melayangkan gugatan untuk membatalkan kontrak lahan Neano Resort dengan menggugat secara perdata Kelian Desa Adat Bugbug, I Nyoman Purwa Ngurah Arsana bersama pihak tergugat lainnya di PN Amlapura. Selain itu, mereka juga ingin mengetahui langsung kebenaran terkait kasus ini, sekaligus ingin mengetahui langsung proses persidangan. “Jadi kembali kami tegaskan secara hukum mereka (krama, red) mempunyai hak untuk hadir dan mengetahui langsung persidangan,” katanya.

Bahkan, pihaknya sempat mengajukan solusi itu ke mediator, namun sayangnya pihak Purwa Arsana menolak dengan dalih bahwa itu kewenangan prajuru untuk menyewakan, dan sudah ada berita acara Prajuru Dulun Desa Adat Bugbug. “Mereka yakin menang, jadi minta dilanjutkan ke perkara,” bebernya lagi, sembari menyebutkan mengundang semua warga untuk hadir di satu tempat guna menyatakan sikap menolak atau setuju, dengan catatan yang setuju harus lebih dari 50 persen baru dianggap memang disetujui, akan tetapi dari pihak Purwa Arsana juga tidak mau menanggapi. “Karena logikanya kalau memang disetujui warga kenapa takut?” sentilnya. Untuk itulah, dari hasil mediasi tersebut, pihak penggugat atau krama Desa Adat Bugbug meminta agar dilakukan persetujuan atau voting ulang dari masyarakat terkait penyewaan lahan resort mewah ini.

Pihaknya menegaskan, keluhan masyarakat Bugbug hanya ingin mengetahui kebenaran dari kasus yang terjadi saat ini, sehingga mereka sengaja turun bersama setelah memberikan kuasa kepada Bendesa Adat Bugbug untuk memproses gugatan kasus ini. Artinya sebagai menggugat sudah mengantongi berbagai bukti dan saksi untuk membuktikan gugatan kepada Nyoman Purwa Ngurah Arsana yang kini masih menjabat Anggota DPRD Bali dari Fraksi PDI Perjuangan itu, bersama pihak tergugat lainnya. “Saat ini kan masih proses mediasi, sebelum mediasi berakhir 2 minggu lagi di PN Amlapura,” jelasnya, seraya menegaskan sebagai kuasa hukum dari pihak penggugat merasa sangat sulit terjadinya proses mediasi yang bisa berjalan baik alias sulit menemukan kata “perdamaian”, karena masih sangat banyak warga Desa Adat Bugbug yang merasa dirugikan.

Karena itulah, kemungkinan besar terjadinya perdamaian lewat mediasi sangat kecil, karena masyarakat Bugbug sebenarnya ingin pembuktian terhadap proses yang dilakukan oleh pihak tergugat itu sesuai prosedur ataukah tidak? “Jadi bukan mencari salah menang. Tapi ingin pembuktian pelaksanaan terkait sewa menyewa. Karena yang disewakan itu adalah padruwen (milik, red) desa, sehingga semua krama desa berhak tahu kebenarannya,” ujarnya. Akan tetapi pada kenyataannya sewa menyewa ini sebagian besar masyarakat merasa tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi. Untuk itulah, perlu dilakukan pembuktian benar dan tidaknya apa yang telah dilakukan Kelian Desa Adat Bugbug. “Jadi bukan mencari perdamaian, dan kalah menang itu tidak ada seperti itu. Hanya untuk membuktinya yang salah ini siapa? Inilah yang harus kita luruskan,” paparnya.

Sementara dari pihak prajuru Desa Adat Bugbug bersikukuh bahwa proses pengambilan kebijakan penyewaan lahan tersebut sudah melalui mekanisme paruman dan sudah sesuai dengan aturan awig-awig Desa Adat Bugbug. Jadi jelas penyewaan lahan tanah milik Desa Adat Bugbug di masa kepemimpinan Kelian Adat Desa Adat Bugbug Nyoman Purwa Arsana sudah sesuai mekanisme dan sudah sesuai awig-awig di desa adat. Lantas kalau ada argumentasi bahwa penyewaan lahan itu harus mendapatkan persetujuan seluruh krama sehingga berakibat pada kebijakan penyewaan tanah desa adat yang diambil Kelian Desa Adat Bugbug dianggap bermasalah atau cacat hukum, Gede Ngurah kembali menegaskan dan meluruskan pemahaman yang keliru tersebut. Bahwa jelas pengambilan keputusan bersama dilakukan melibatkan Paruman Nayaka Desa yang sudah merupakan representasi perwakilan krama dan disepekati bersama Prajuru Desa Adat dalam Paruman Prajuru Dulun Desa.

“Karena krama Desa Bugbug menganggap tidak pernah memberikan persetujuan sewa lahan itu,” tegasnya. Perlu diketahui, kasus Gugatan Perdata antara penggugat, I Nyoman Jelantik selaku Jro Bendesa Adat Bugbug yang juga sebagai perwakilan warga Desa Adat Bugbug, Karangasem, kembali menyeret nama I Nyoman Purwa Ngurah Arsana, ST., selaku Kelian Adat Desa Bugbug sebagai tergugat I berlangsung di Pengadilan Negeri (PN) Amlapura, Karangasem, pada Rabu (22/11/2023). Selain itu, Daniel Kriso juga ikut sebagai tergugat II, bersama David Kvasnicka sebagai tergugat III, Notaris dan PPAT Kadek Joni Wahyuni sebagai turut tergugat I, PT Detiga Neano Resort Bali sebagai turut tergugat II, PT Starindo Bali Mandiri sebagai turut tergugat III, Pemerintah Provinsi Bali Cq. Gubernur Bali sebagai turut tergugat IV, Mejelis Desa Adat (MDA) Provinsi Bali sebagai turut tergugat V, Kementerian Investasi/ BKPM sebagai turut tergugat VI, Kemenkumham Cq Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum sebagai turut tergugat VII, Kementerian Keuangan Cq Direktorat Jenderal Pajak sebagai turut tergugat VIII, Kantor ATR/ BPN Kabupaten Karangasem sebagai turut tergugat IX, dan Kemenkumham Cq. Direktorat Jenderal Imigrasi sebagai turut tergugat X.

Liputan JUGA  Menko Airlangga: Tidak Ada Resentralisasi Dalam RUU Cipta Kerja

Objek perkara berupa tanah dengan Sertifikat Hak Milik (SHM) No.4370/DESA BUGBUG atas nama Pura Segara Desa Adat Bugbug, saat ini masih dalam sengketa keperdataan di Pengadilan Negeri (PN) Amlapura yang terdaftar dalam Perkara Perdata No.255/PDT.G/2023/PN.AMP, tanggal 31 Oktober 2023 dan masih dalam proses laporan polisi No.LP/B/585/IX/2023/SPKT/POLDA BALI. Diketahui, penggugat sebagai Bendesa Adat Bugbug yang juga ditunjuk oleh masyarakat atau krama Desa Adat Bugbug untuk melakukan upaya hukum terkait adanya padruen (harta kekayaan) Desa Adat Bugbug yang diduga dialihkan tanpa persetujuan masyarakat Desa Adat Bugbug. “Praduen Desa Adat Bugbug itu dialihkan tanpa melalui persetujuan krama Desa Adat Bugbug secara komunal oleh tergugat I,” ungkap Kuasa Hukum Penggugat dari Bantuan Hukum Keluarga Besar Karangasem Bersatu, yakni Ida Bagus Putu Agung, SH., didampingi oleh Hotmaruli Pardomuan Andreas, SH., I Gusti Ngurah Bayu Suta Negara, SH., I Nyoman Suyoga, SH., MH., I Wayan Sukana, SH., I Gede Astrawan Wikarma, SH., MH., Supriantama Nasution, SE., SH., MH., MBA., BKP., CFP., CMM CLA., Ph.D., DR, Sirojul Mulqi Amirudien, SH., I Gede Susila Yasa, SH., I Nyoman Kantun Suyasa SH, Sabam Antonius SH, I Putu Sukayasa Nadi SH., Rudi Hermawan, SH., dan Gede Agung Sanjaya Dwijaksara, SH.

Dijelaskan penggugat memiliki legal standing mewakili masyarakat Desa Adat Bugbug untuk melakukan upaya hukum terkait sengketa lahan seluas 233.500 meter persegi yang tetap milik masyarakat Hukum Adat (krama desa adat) yang diduga dialihkan tanpa persetujuan mutlak dari masyarakat Desa Adat Bugbug. “Objek perkara dalam gugatan aquo adalah perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh tergugat I dengan cara melakukan perbuatan hukum menyewakan kekayaan Desa Adat Bugbug, berupa tanah pelaba Pura Segara Desa Adat Bugbug tanpa persetujuan dari seluruh masyarakat Desa Adat Bugbug secara komunal,” terangnya. Menurutnya sesuai peraturan adat, yaitu Awig – Awig Desa Adat Bugbug yang berlaku hingga saat ini, perbuatan hukum atas objek sengketa lahan tersebut, baik sebagian maupun keseluruhan harus atas praduen desa adat (kekayaan desa adat) wajib mendapat persetujuan seluruh krama Desa Adat Bugbug secara komunal yang selaras dengan prinsip-prinsip masyarakat Hukum Adat yang mengacu pada ketentuan Palet 5, Pawos 28, Angka ke-5 Awig – Awig Desa Adat Bugbug.

Sengketa ini berawal sekitar bulan Januari 2022, penggugat diberitahukan oleh salah satu warga Desa Adat Bugbug telah terjadi perbuatan hukum sewa-menyewa sebagian dari objek sengketa seluas 20.000 meter persegi pada tanggal 30 Desember 2021 oleh tergugat I yang juga Anggota DPRD Bali dari Fraksi PDI Perjuangan yang telah disewakan kepada tergugat II dan tergugat III adalah orang asing di bawah pengawasan turut tergugat X sebagai lembaga negara yang berwenang mengawasi orang asing. “Penggugat sebagai Bendesa Adat Bugbug dan juga krama yang merupakan bagian dari pemegang hak komunal atas objek sengketa belum pernah memberikan persetujuan dan ataupun menunjuk perwakilan untuk melakukan perbuatan hukum sewa menyewa atas objek sengketa,” pungkasnya. Uniknya di sela sidang perdana gugatan perkara yang dihadiri Purwa Arsana, bersama Daniel Kriso dan David Kvasnicka beserta kuasa hukumnya itu, ratusan masyarakat Desa Adat Bugbug yang hadir melakukan aksi menolak mendukung PDI Perjuangan. Sayangnya kuasa hukum Purwa Arsana Cs belum bisa diminta keterangan apapun terkait kasus ini.

Namun sebelumnya perlu diketahui, selain kasus perdata yang berkaitan dengan kasus sewa menyewa lahan untuk resort mewah yang disinyalir mencaplok area kawasan suci di Desa Bugbug, salah satu perwakilan ribuan Krama Desa Adat Bugbug, I Ketut Wirnata juga mempolisikan I Nyoman Purwa Ngurah Arsana, ST., sebagai terlapor ke Polda Bali atas dugaan tindak pidana peyerobotan tanah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 385 KUHP pada tanggal 12 Oktober 2023 dengan Surat Tanda Terima Laporan Polisi Nomor : LP/B/858/X/2023/SPKT/POLDA BALI. Laporan pidana tersebut, memasuki babak baru atas polemik pembangunan resort mewah Villa Detiga Neano Resort di Desa Bugbug yang dituding oleh krama Desa Adat Bugbug berada di wilayah kesucian Pura Dang Kahyangan Bukit Gumang, Desa Adat Bugbug, Kabupaten Karangasem. Sebelumnya Polda Bali telah menetapkan 16 orang tersangka perusakan dan pembakaran Detiga Neano Resort di Desa Bugbug. Hal itu terjadi lantaran masyarakat emosi, karena tuntutan janji penutupan proyek resort tersebut tidak dipenuhi.

Liputan JUGA  Kirab Budaya Pesta Njuah-njuah Dairi Meriah

Bahkan Ditreskrimum Polda Bali telah melimpahkan 16 orang tersangka dan barang bukti kasus pengerusakan Villa Detiga Neano Resort Bugbug, kepada Kejaksaan Negeri Karangasem, Rabu (1/11/2023). Pada hari ini Rabu tanggal 1 November, dipimpin langsung Kasubdit III Ditreskrimum Polda Bali AKBP Endang Tri Purwanto S.I.K., M.Si., Penyidik telah melakukan pelimpahan 16 orang tersangka dan barang bukti terkait dengan Laporan Polisi Nomor : LP/A/470/VIII/2023, tanggal 30 Agustus 2023, tentang kejadian pengerusakan oleh warga di Villa Detiga Neano Resort Bugbug Karangasem. Kegiatan pelimpahan tersangka dan barang bukti tersebut di hadiri oleh Jaksa dari Kejaksaan Tinggi Bali dan Kejaksaan Negeri Karangasem, berlangsung di ruang pemeriksaan Ditreskrimum Polda Bali. Adapun 16 orang tersangka dengan inisial sebagai berikut : Ni MS, Ni WS, Ni KPS, WW, GAHA, KS, KHS, Ni WP, Ni WT, GA, NKA, WW, WM, KA, PS, dan WM.

Hal itu disamaikan oleh Kuasa Hukum Krama Desa Adat Bugbug I Ketut Wirnata dari Bantuan Hukum Keluarga Besar Karangasem Bersatu, yakni Ida Bagus Putu Agung, SH., didampingi oleh Hotmaruli Pardomuan Andreas, SH., I Gusti Ngurah Bayu Suta Negara, SH., I Nyoman Suyoga, SH., MH., I Wayan Sukana, SH., I Gede Astrawan Wikarma, SH., MH., Supriantama Nasution, SE., SH., MH., MBA., BKP., CFP., CMM CLA., Ph.D., DR, Sirojul Mulqi Amirudien, SH., I Gede Susila Yasa, SH., I Nyoman Kantun Suyasa SH, Sabam Antonius SH, I Putu Sukayasa Nadi SH., Rudi Hermawan, SH., dan Gede Agung Sanjaya Dwijaksara, SH. Para Advokat dan Konsultan Hukum yang saat ini Bantuan Hukum Keluarga Besar Karangasem beralamat di Sekretariat Kaber, Jalan Narakusuma No.5F Denpasar Timur. Pelaporan itu dilakukan I Ketut Wirnata yang sudah ditunjuk oleh 2.000 Krama Desa Adat Bugbug, karena selama ini tidak mengetahui adanya proyek Villa Detiga Neano Resort ternyata telah menyewa tanah milik desa adat.

Namun, Purwa Arsana selaku Kelian Desa Adat Bugbug dituding telah melakukan sewa-menyewa tanah milik Desa Adat Bugbug tersebut, kepada pihak lain untuk melakukan pembangunan villa. Padahal belum semua krama dari 12 banjar yang tahu dan setuju atas pembangunan tersebut sesuai dengan Palet 6 Awig-Awig lan Perarem Desa Adat Bugbug. Untuk itu, tindakan sewa-menyewa antara Desa Adat Bugbug dengan pihak Detiga Neano Resort dikatakan cacat prosedur. “Artinya secara hukum, apapun yang dilakukan, baik itu perjanjian sewa menyewa, harusnya cacat, karena dari seluruh masyarakat masyarakat Bugbug ada sebagian besar malah tidak mengetahui perjanjian tersebut. Apalagi sampai kapan dan berapa nilai kontrak sewa menyewa tanah itu? Mereka tidak ada yang tahu,” uangkapnya. Dijelaskan pula tanah yang disebut diserobot Purwa Arsana yang juga Anggota DPRD Bali ini, luasnya kurang lebih mencapai 1 hektar dan saat ini dibangun sebagai Detiga Neano Resort. Ida Bagus Putu Agung menyebut sebagian warga Desa Adat Bugbug tak mengetahui perjanjian tersebut.

Ditambahkan kuasa hukum lainnya, Hotmaruli Pardomuan Andreas, SH., seharusnya semua masyarakat Desa Adat Bugbug mengetahui mengenai sewa-menyewa tanah tersebut. “Harusnya sesuai awig-awig, maka semua harus tahu, karena kesepakatan secara komunal, jadi 12 banjar itu harus mengetahui,” imbuhnya. Namun akibat ketidaktahuan itu justru menimbulkan konflik di internal Desa Adat Bugbug yang menjadi perhatian semua pihak termasuk dari DPP PEKAT Indonesia Bersatu dan PEKAT Bali. Apabila proses sewa-menyewa tanah yang dilakukan oleh Desa Adat Bugbug sesuai prosedur diyakini tidak menimbulkan konflik yang berkepanjangan. Diungkapkan pula, proses sewa-menyewa tanah yang dilakukan oleh Desa Adat Bugbug dengan pihak Detiga Neano Resort terjadi sekitar 2021. Dalam pelaporan ke Polda Bali, pelapor Wirnata sudah dilakukan pemeriksaan oleh Polda Bali pada Selasa (31/10/2023).

Selain gugatan secara pidana, pihaknya juga menggugat Kelian Adat Desa Adat Bugbug secara perdata. Gugatan ini pun sudah masuk dan akan menjalani sidang perdana pada Rabu 22 November 2023 mendatang. Salain itu, ada pula dilaporkan sebagai tergugat yakni DK dan David Kvasnicka dari Republik Ceko serta Notaris dan PPAT I Kadek Joni Wahyudi. Serta turut tergugat PT Detiga Neano Resort Bali, PT Starindo Bali Mandiri, Pemerintah Daerah Provinsi Bali Cq Gubernur Bali, Majelis Desa Adat (MDA) Bali, Kementrian Investasi/BKPM Cq. Kepala BKPM, Kementrian Hukum dan HAM Cq. Direktorat Jendral Administrasi Hukum Umum, Menteri Keuangan Cq. Direktorat Pajak, Kantor ATR/BPN Kabupaten Karangasem serta Kementrian Hukum dan HAM Cq. Direktorat Jendral Imigrasi. Pada kesempatan itu, para kuasa hukum juga menyinggung soal penangkapan 16 orang yang dijadikan tersangka dan langsung dalam perkara pembakaran dan perusakan Detiga Neano Resort.

Ia menyayangkan penangkapan tersebut dari polisi tidak mengacu atau mengarah ke aspek hukum secara keseluruhan, tetapi hanya menonjolkan perbuatan. “Siang sebagai saksi, lalu jadi tersangka. Malam sudah ditangkap,” ungkapnya. Padahal dalam permasalahan ini ada celah atau kelemahan dari proses sewa-menyewa tanah antara Desa Adat Bugbug dengan pihak Detiga Neano Resort. Kasus tersebut ditempuh jalur hukum dengan melaporkan secara pidana dan perdata agar mendapatkan kebenaran yang menderang dan keadilan. Sebelumnya, dikonfirmasi terpisah, Purwa Arsana mengaku laporan pidana dan perdata itu sebagai laporan pemaksaan kehendak dan akhirnya akan berakhir dengan laporan balik adanya laporan palsu dan pencemaran nama baik. Karena itulah, Purwa Arsana akan melaporkan balik pelapor. “Ya saya akan laporkan balik pencemaran nama baik dan laporan palsu karena apa dasar mereka melaporkan saya nyerobot, sedangkan tanah itu milik Desa Adat Bugbug sesuai dengan bukti sertifikat terlampir seluas 23 hektar yang disewakan baru 2 hektar dan atas persetujuan Prajuru Dulun Desa sesuai dengan bukti berita acara persetujuan sewa menyewa,” jawabnya.

Liputan JUGA  Aji-Gagarin, Mantan Anggota DPRD Pacitan Dengan Basis Suara Sangat Signifikan

Menanggapi gugatan perdata terhadap Kelian Desa Adat Bugbug, I Nyoman Purwa Ngurah Arsana bersama pihak tergugat lainnya, Tim Kuasa Hukum Desa Adat Bugbug Gede Ngurah yang juga Penglingsir Desa Adat Bugbug memberikan penjelasan dan membeberkan fakta yang sebenarnya terkait klaim dan gugatan perdata Perbuatan Melawan Hukum (PMH) yang dilayangkan pihak yang mengatasnamakan perwakilan krama terhadap Kelian Desa Adat Bugbug Nyoman Purwa Arsana dimana gugatan perdata Perbuatan Melawan Hukum (PMH) diajukan di Pengadilan Negeri (PN) Amlapura, Karangasem. Persoalan ini bermula dari persoalan penyewaan lahan milik Desa Adat Bugbug di masa kepemimpinan Kelian Desa Adat Bugbug Nyoman Purwa Arsana untuk pembangunan akomodasi vila/resort yang dinilai oleh sekelompok orang tanpa persetujuan seluruh krama. Sementara dari pihak prajuru Desa Adat Bugbug bersikukuh bahwa proses pengambilan kebijakan penyewaan lahan tersebut sudah melalui mekanisme paruman dan sudah sesuai dengan aturan awig-awig Desa Adat Bugbug.

Gede Ngurah lantas menjelaskan dengan gamblang isi bunyi awig-awig yang menjadi landasan pengambilan kebijakan penyewaan lahan yang prosesnya disebut sudah sangat terbuka atau transparan, demokratis dan melibatkan seluruh krama melalui perwakilan mereka yang disebut Nayaka Desa. Dia membacakan bunyi Paos/Pasal 16 Awig-Awig Desa Adat Bugbug mengenai Paruman Nayaka Desa. Intinya para Nayaka Desa berasal dari krama desa. Kedua, para Nayaka Desa dipilih setiap lima tahun sekali. Krama Banjar yang menjadi Nayaka Desa dipilih oleh krama banjar di tiap-tiap banjar. Krama Banjar yang duduk di Nayaka Desa merupakan wakil krama di tiap-tiap banjar. Krama Desa Adat Bugbug yang tinggal di rantauan juga dapat perwakilan. Selain itu ada utusan daerah yang dipilih Kelian Adat Desa Adat Bugbug ditempatkan di Nayaka Desa, masing-masing banjar dapat 3 orang. “Jadi dari 12 Banjar Adat di Desa Adat Bugbug total anggota Paruman Nayaka Desa ada 36 orang, ditambah utusan dari Kelian Desa Adat 3 orang, jadinya 39 orang.

Tambah perwakilan krama Bugbug yang tinggal di Buleleng dapat 3 orang, Denpasar 3, Pancasari 3, Klungkung 3. Itulah Paruman Nayaka Desa yang oleh Perda Desa Adat sekarang identik dengan sebutan Sabha Desa. Dinilah Prajuru Desa Adat mengadakan musyarawah dengan wakil krama yang duduk di Sabha Desa atau Paruman Nayaka Desa,” terang Gede Ngurah. Dalam konteks ada kebijakan dari prajuru Desa Adat Bugbug yang dipimpin Kelian Desa Adat Bugbug Nyoman Purwa Arsana (layaknya eksekutif) ketika ingin menyewakan tanah milik Desa Adat yang tentunya untuk kesejahteraan seluruh krama Desa Adat Bugbug, maka ditanyakan persetujuannya melalui Paruman Nayaka Desa ini (semacam legislatif). “Kelian tanya ke Paruman Nayaka Desa soal mau sewakan tanah, harganya silakan ditentukan di paruman. Disanalah ada persetujuan bersama dalam Paruman Prajuru Dulun Desa yang merupakan paruman gabungan antara Prajuru Desa dengan Paruman Nayaka Desa. Disitulah bersepakat membahas disewakan atau tidak disewakan,” beber Gede Ngurah.

Jadi jelas penyewaan lahan tanah milik Desa Adat Bugbug di masa kepemimpinan Kelian Adat Desa Adat Bugbug Nyoman Purwa Arsana sudah sesuai mekanisme dan sudah sesuai awig-awig di desa adat. Lantas kalau ada argumentasi bahwa penyewaan lahan itu harus mendapatkan persetujuan seluruh krama sehingga berakibat pada kebijakan penyewaan tanah desa adat yang diambil Kelian Desa Adat Bugbug dianggap bermasalah atau cacat hukum, Gede Ngurah kembali menegaskan dan meluruskan pemahaman yang keliru tersebut. Bahwa jelas pengambilan keputusan bersama dilakukan melibatkan Paruman Nayaka Desa yang sudah merupakan representasi perwakilan krama dan disepekati bersama Prajuru Desa Adat dalam Paruman Prajuru Dulun Desa.

Jadi ketika sudah ada persetujuan bersama Paruman Nayaka Desa dan Paruman Prajuru Dulun Desa artinya juga mewakili persetujuan seluruh krama karena Paruman Nayaka Desa membawa mandat aspirasi dari krama. Sekalipun dalam penyewaan tersebut sudah mendapat persetujuan Paruman Prajuru Dulun Desa, tetapi Kelian Desa Adat Bugbug tetap mensosialisasikan tentang penyewaan tanah desa adat tersebut kepada Krama Desa lewat 12 Banjar Adat secara bergantian. “Jadi aspirasi krama sudah diadopsi lewat Paruman Nayaka Desa dan disepakati bersama dalam Paruman Prajuru Dulun Desa. Karena terlalu banyak krama Desa Adat Bugbug tidak mungkin kita tanya satu satu persetujuannya, tapi melalui perwakilan mereka yang adalah Nayaka Desa. Kalau ada protes dari masyarakat silahkan melalui wakil Anda yang duduk di Nayaka Desa dan disampaikan melalui Paruman Nayaka Desa. Tidak boleh ada krama yang liar begitu menyampaikan aspirasi,” terang Gede Ngurah. 5412/jmg

  Banner Iklan Sariksa

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *