Sejarah Puncak Sapto Argo Tempat Semedi Raja Demak Bintoro

Liputan KOLOM1,110 views

Oleh: Dr. Purwadi, M.Hum

(Ketua Lembaga Olah Kajian Nusnatara LOKANTARA, Hp :0878 6440 4347)

A. Wibawa Puncak Sapto Argo di Gunung Muria.

Raden Patah dinobatkan sebagai raja di Kasultanan Demak Bintoro pada tahun 1478. Wali Songo menganjurkan agar Raden Patah meneruskan tatacara Prabu Brawijaya V, raja Majapahit. Sebagai putra raja Majapahit, Raden Patah wajib menjalankan lara lapa tapa brata.

Untuk itu dewan Wali Songo menugaskan Sunan Muria agar mendampingi Raden Patah selama menjalankan meditasi. Kanjeng Sunan Muria sebagai anggota dewan wali berperan sebagai guru spiritual Raden Patah. Tempat yang digunakan untuk melakukan tapa brata yaitu puncak Sapto Argo.

Suasana hening menyelimuti puncak Sapto Argo. Pendiri pertapan Sapto Argo yaitu Begawan Abiyasa. Usaha untuk mendirikan pertapan Sapto Argo telah dirintis oleh Begawan Manumanumasa, Sakri dan Begawan Palasara. Para tokoh Sapto Argo ini terkenal sebagai brahmana kang kesdik paningale, mateng semedine, lantip panggraitane.

Tapa brata yang dilakukan oleh Raden Patah dilakukan dengan sepenuh hati. Mahas ing asepi, lenggah saluku tunggal, amepet babahan hawa sanga, sajuga kang sinidhikara. Sultan Demak Bintoro ini mengheningkan cipta, memohon kepada Allah yang maha kuasa. Agar dalam memerintah kraton Demak Bintoro berjalan lancar, gancar, aman sentosa.

Ilmu iku kelakone kanthi laku. Semedi yang dilakukan Raden Patah berhasil memuaskan. Dari leluhru Majapahit, Raden Patah mendapat anugerah keris Kyai Pulanggeni. Pusaka ini dulu pernah digunakan oleh Raden Arjuna. Raden patah dari leluhur kraton Kediri mendapat ganjaran berupa jamus kalimasada. Jimat pusaka ini dulu pernah dipegang oleh Prabu Puntadewa raja negeri Amarta.

Jamus kalimasada merupakan jimat yang bertuah tinggi. Makna jamus kalimasada berhubungan dengan arti dua kalimat syahadat. Penguasaan jamus kalimasada ini membuat Raden Patah memiliki kemampuan untuk mengadakan upacara ruwatan. Prabu Puntadewa diruwat oleh Raden Patah, dengan menjabarkan makna jamus kalimasada. Maka Raden Patah dapat mencapai alam kamuksan.

Prabu Puntadewa wafat dengan keadaan kesempurnaan. Oleh karena itu Prabu Puntadewa bisa surud ing kasedan jadi, manjing ing tepet suci, tinggal di swargaloka. Makamnya bersebelahan dengan makam Raden Patah di kompleks masjid agung Demak Bintoro. Raden Patah telah mengantarkan kesempurnaan Prabu Puntadewa dengan menjelaskan makna dua kalimat syahadat.

Lelaku tapa brata yang dijalankan Raden Patah di puncak Sapto Argo itu berada di kawasan Gunung Muria. Terlebih dulu melewati desa Rahtawu. Gunung Muria terletak di wilayah Semarang, Jepara dan Kudus. Puncak Sapto Argo juga dikenal dengan istilah Puncak Songolikur. Untuk menuju puncak Sapto Argo mesti melampaui desa Rahtawu, Gebog, Kudus.

Alam sekitar puncak Sapto Argo selalu berkaitan dengan perjalanan historis kabupaten Kudus. Di sinilah pertemuan akulturasi budaya Islam dan Jawa berjalan harmonis. Kanjeng Sunan Kudus sebagai tokoh wali senantiasa bertindak arif bijaksana. Perkembangan masyarakat Kudus perlu diulas dan dibahas secara tegas jelas.

Kabupaten Kudus merupakan contoh perpaduan nilai santri, nilai priyayi dan nilai produksi. Nilai santri terpantul dari kota Kudus sebagai pusat pengajaran agama sejak tahun 956 Hijrah atau 1549 Masehi. Kanjeng Jafar Shodiq Sunan Kudus adalah anggota Wali Sanga yang berjasa menyebarkan agama Islam di wilayah Kudus. Agama ageming aji, bahwasanya agama itu pelita alam raya.

Kanjeng Sunan Kudus amat menghormati adat istiadat setempat. Daging kerbau lebih dipilih daripada daging sapi. Berarti umat Islam di kabupaten Kudus menghormati tradisi budaya Hindu yang terlebih dulu berkembang. Kearifan lokal diterapkan agar hidup ini berjalan selaras serasi seimbang.

Sejarah Kadipaten Kudus sudah seharusnya ditempatkan, karena trah yang diberi julukan sesuai dengan nama kota ini. Selama beberapa waktu besar pengaruhnya terhadap jalan sejarah. Kekuasaan mereka berdasarkan pada wibawa sebagai pemimpin jemaah orang santri. Mereka dapat dibandingkan dengan raja-raja Cirebon Darusalam dan Giri-Gresik, yang memulai kegiatan mereka sebagai kyai, yang kemudian membentuk trah dan berhasil meraih kekuasaan yang cukup besar.

Pembesar agama linuwih. Adanya daftar lima imam Masjid Agung yang dimuat dalam Hikayat Hasanuddin di Banten. Imam yang kelima pada daftar itu adalah tokoh yang kemudian menjadi Kanjeng Sunan Kudus. Trah para khatib di Masjid Agung di Demak Bintara berasal dari Pangeran Rahmat dari Ngampel Denta Surabaya dan anak perempuannya, Nyai Ageng Pancuran, Kanjeng Sunan Bonang, konon adalah imam pertama. Keluarga Ngampel semula berasal dari negeri Cempa. Kealiman dan semangat menyebarkan agama Islam di Jawa Tengah, keluarga Kudus ini berjasa karena salah seorang anggotanya menjadi pemuka Imam keempat, ia diberi julukan Kanjeng Khatib Agung Rahmatullah ing Ngudung.

Liputan JUGA  Sejarah Kanjeng Ratu Kidul

Hidup harus eling lan waspada. Sesudah meninggalnya Kanjeng Sunan Ngampel di Surabaya, para santri memutuskan mengakhiri kehidupan kompetisi duniawi.

Raja Demak Bintara juga tetap caos bulu bekti glondhong pengareng-areng, guru bakal guru dadi, peni-peni raja peni, mas picis raja brana ke Majapahit. Beliau masih merasa wajib menyatakan ketaatannya kepada Majapahit. Berbondong bondong para santri di bawah pimpinan Pangeran Ngudung, imam Masjid Agung Demak Bintara, dan ulama. Bupati Terung tugas yang telah dibebankan oleh Narendra Agung kepadanya.

Kerajaan Demak dan Pajang mengutamakan aspek batiniah. Ajaran yang dianjurkan oleh Wali Songo. Gunung Murya Kudus dirawat dan dihormati sebagai tempat semedi. Maka di lingkungan sini banyak berdiri sanggar pamelengan.

B. Perguruan Sunan Murya.

Kanjeng Sunan Murya sebagai Guru spiritual Kasultanan Demak Bintara mendapat tanah perdikan. Bertempat di desa Colo, Kecamatan Gawe, Kabupaten Kudus. Terletak di atas gunung yang menjulang tinggi.

Gunung Murya dengan ketinggian 1594 m berhawa dingin. Dhedhep tidhem sebawaning ratri. Hening sunyi cocok untuk melakukan semedi.

Sunan Murya bernama asli Raden Umar Said. Membangun peguron Murya seperti Nabi Daud dan Sulaiman membangun Moriah. Peguron Murya diberi tanda bedug yang dibuat tahun 1884.

Begitulah sentra spiritual di wilayah Kudus. Prastawa di Jawa Timur ini dilukiskan sebagai prastawa yang bertepatan waktu dengan pernikahan seorang putri Demak Bintara dengan seorang anggota trah kyai yang baru muncul di Cirebon. Pernikahan tadi berlangsung antara Hasanuddin, Kanjeng Sultan Banten yang pertama putra dengan putri Kanjeng Sultan Trenggana dari Demak Bintara. Pesta pernikahan Agung terjadi pada 1552.

Pembesar masjis berpengaruh atas kerajaan. Imam keempat di Masjid Agung Demak Bintara yang diganti oleh anaknya yang ditetapkan dalam jabatannya oleh Syekh Nurullah. Beliau kelak kawentar sebagai Kanjeng Sunan Gunung Jati di Cirebon. Kanjeng Sunan Gunung Jati justru pada waktu yang sama telah menjadi ipar raja di Demak Bintara. Beliau hingga dalam posisi yang demikian ia dapat menyatakan pengaruhnya. Khatib Agung muda di Demak Bintara inilah, yang akhirnya dapat mengelola kota kraton tua. Beliau mencapai hasil gemilang itu terutama karena kekuatan gaibnya.

Banyak raja dari seluruh tlatah, bahkan dari Palembang, dan semua ulama Kanjeng Sunan Giri memainkan peranan istimewa dengan keris ajaibnya. Para sunan, dari Giri misalnya, baru mendapat posisi tinggi pada paruh kedua abad ke-16. Raja Islam itu sesudah pindahnya Kotanegara lama menanamkan kekuasaannya di bagian terbesar Jawa Timur dan Madura.

Karena pengaruh Kanjeng Sunan Gunung Jati, iparnya, pada waktu itu juga ia memakai gelar sultan. Pengaruh Sunan Kudus sangat luas. Beliau juga ahli dalam bidang pemerintahan. Masyarakat harus diatur dengan sistem tata praja yg rapi. Murid-murid Sunan Kudus berasal dari Demak, Pajang dan Jipang Panolan. Mereka terdiri dari bangsawan yang memiliki jabatan birokrasi.

Sukses yang dicapainya barangkali mengakibatkan kekuasaan Khatib Agung Demak Bintara, yang pada waktu itu agaknya masih muda menanjak drastis. Kebesaran dan tindakan Kanjeng Sultan Kudus harus dianggap kisah mengenai dia sendiri. Silsilah trah leluhur raja-raja Surakarta dari abad 19. Beliau dianggap layak dicantumkan dalam buku itu, karena seorang putri trahnya diperistri oleh Sinuwun Sunan Paku Buwana III di Surakarta yang memerintah tahun 1749-1788.

Kanjeng Sunan Kudus sendiri memperistri putri Kiai Gede Kali Podang. Beliau adalah putri Bupati Terung, Adipati Kanduruwan yang mempunyai hubungan darah dengan kalangan ningrat. Nilai priyayi berkaitan dengan ketrampilan untuk menggerakkan roda pemerintahan, birokrasi dan tata praja. Hierarki kenegaraan harus dipelajari, karena terkait dengan aspek kepemimpinan.

Mengatur orang banyak perlu memiliki ilmu sosiologi, antropologi, psikologi dan humaniora. Kanjeng Sunan Kudus mengajari murid muridnya agar mengutamakan kepentingan orang banyak. Rame ing gawe sepi ing pamrih. Ulama suci yang berderajat tinggi dan penuh semangat tempur itu, yang diberi nama Kanjeng Sunan Kudus. Pada 1527, masih bertahun-tahun hidup di Demak Bintara sebagai Khatib Agung Masjid Agung, hingga akhirnya ia mendirikan Kota Kudus.

Pemerintahan Pangeran Trenggana telah pindah ke Demak Bintara dari Cirebon. Kanjeng Sunan Kalijaga adalah seorang dari trah tinggi, yang bertalian darah dengan para pejabat di kota pelabuhan tua, Tuban. Rupanya, ia disenangi baik oleh yang kelak bernama Sunan Cirebon Darusalam maupun oleh yang kelak disebut Kanjeng Sultan Trenggana di Demak Bintara. Kanjeng Sunan Kudus, seperti kerabatnya, Kanjeng Sunan Bonang, terutama adalah seorang ahli dan penyebar agama.

Liputan JUGA  INDONESIA HARUS BERSATU, DAN FOKUS PADA PENGHENTIAN PENYEBARAN VIRUS KORONA

Kesadaran ekologi dan ekonomi diajarkan Sunan Kudus untuk menjaga kelestarian alam. Sepanjang Gunung Kendheng terdapat kayu jati berkualitas tinggi. penebangan liar harus dicegah. Kayu jati sebagai barang komoditi perlu diatur dengan ketat. Itulah praktek amar makruf nahi munkar dalam bidang lingkungan. Sunan Kudus berusaha dengan sekuat tenaga untuk memayu hayuning bawana.

Dalam bidang ekonomi pun Kanjeng Sunan Kudus menganjurkan untuk bersikap adil dan tepa selira. Watak tamak, serakah dan mau menang sendiri seharusnya dihindari. Si kaya memperhatikan yang lemah ekonomi. Sebaliknya yang merasa lemah ekonomi harus bekerja keras. Kedua belah pihak harus kerjasama, gotong royong, saling menghargai.

Pangeran Prawata, pengganti Kanjeng Sultan Trenggana di Demak Bintara, setelah mula-mula menjadi murid Kanjeng Sunan Kudus, kemudian Kanjeng Sunan Kalijaga sebagai guru-nya. Kisah-kisah ini ternyata berasal dari lingkungan masyarakat orang alim atau masyarakat santri. Dapat dimengerti jika hal itu juga mencerminkan pandangan dan pendirian kelompok pengikut Kanjeng Sunan Kudus.

Kanjeng Sunan Kudus karena keinginan untuk hidup merdeka dan membaktikan seluruh hidupnya untuk memperdalam ilmu ketuhanan dan melakukan karya-karya yang direstui Tuhan. Tahun sebelum 1549, tahun yang sesuai dengan tahun 956 Hijriah yang tercantum di atas mihrab masjid raya di Kudus sebagai tahun pembangunannya. Pembangunan masjid ini memerlukan waktu beberapa tahun. Kanjeng Sunan Kalijaga datang dari Cirebon ke Demak Bintara pada 1543. Khatib Agung Demak Bintara tergerak pindah ke Kudus, maka 1543 dapat dianggap sebagai batas perhitungan paling awal. Tahun itu masih berada dalam periode pemerintahan Kanjeng Sultan Trenggana.

Kudus berasal dari kata Arab al Quds, yakni Baitul Mukadis. Nama yang diberikan kepada tempat itu waktu dinyatakan sebagai tempat suci oleh Kanjeng Sunan Kudus Demak Bintara menjadi imam jemaah. Nama yang lebih tua ialah Tajug. Ietaknya tidak begitu jauh di sebelah timur laut Demak Bintara. Kanjeng Kiai Demang Telingsing yang mula-mula menggarap tempat yang kemudian menjadi Kota Kudus. Dia seorang Cina Islam, namanya semula The Ling Sing. Tempat itu sudah agak berarti, sebelum dijadikan kota suci oleh Kanjeng Sunan Kudus. Kudus dadi punjering kawruh.

Berbahagia sekali masyarakat Kudus yang memiliki tempat spiritual yang magis, wingit dan berwibawa. Puncak Sapto Argo menawarkan nilai kebajikan spiritual. Gunung Muria memberi warisan wejangan luhur yang diajarkan oleh kanjeng Sunan Muria. Kehidupan masyarakat Kudus berjalan sesuai dengan nilai keagamaan dan nilai kebudayaan.

C. Wedharan dari Puncak Sapto Argo

Dhandhanggula

Dhedhep tidhem prabawaning ratri,
sasadara wus manjer kawuryan,
tan kuciwa memanise,
menggep srinateng dalu,
siniwaka sanggyaning dasih,
aglar neng cakra wala,
winulat ngelangut,
prandene kabeh kebekan,
saking kehing taranggana kang sumiwi,
warata tanpa sela.

Suasana magis hening senyap itu betul-betul terasa di lingkungan Sapto Argo. Begawan Abiyasa memberi wedharan tentang ngelmu sangkan paraning dumadi. Segenap cantrik yang sedang ngudi ngilmi nggayuh kawruh mendengarkan wejangan sang begawan.

Belajar di pertapan Sapto Argo ditempuh dengan rasa kesungguhan. Tumuju marang kamulyan dalane ora alus. Akeh sandhungane, gedhe godha rencanane. Nanging sapa temen bakal tinemu. Waton gembleng tekade, nyawiji pambudi dayane. Linambaran sabar tawakal. Berakit-rakit ke hulu, berenang-renang ke tepian. Bersakit-sakit dahulu, bersenang-senang kemudian. Begitulah wejangan Begawan Abiyasa kepada para siswa.

Wayang sebagai media kebudayaan menjadi sarana pembelajaran bagi Wali Songo untuk mengajarkan keutamaan di tanah Jawa. Kanjeng Sunan Kudus terlalu paham dengan kultur budaya masyarakat. Adat istiadat itu sudah berlangsung berabad-abad. Oleh karena itu perlu dikembangkan dan dihormati.

Nilai produksi berhubungan dengan kegiatan perdagangan, bisnis dan transaksi barang dan jasa. Sejak pemerintahan Sinuwun Paku Buwono I, raja Mataram, Kabupaten Kudus dijadikan sentra industri. Pada tahun 1713 Kanjeng Raden Adipati Padmonagoro dilantik menjadi Bupati Kudus. Raja Mataram hadir langsung. Saat itu pula Sinuwun Paku Buwono I meresmikan pasar Kudus.

Kota Suci Kudus sudah kawentar di Jawa dan bahkan di Nusantara sebagai pusat agama. Masjid rayanya diberi nama al-Manar atau al-Aqsa, seperti Masjid Agung di Baitulmukadis. Kawula dalem kota suci, Kanjeng Sunan Kudus. Mengingatkan pada jaman Hindu Budha.

Dalam pidato sambutannya Sinuwun Paku Buwono I berpesan kepada Adipati Padmonagoro, agar mempelajari warisan Sunan Kudus. Beliau sendiri sering belajar atas wejangan Sultan Kudus lewat ulama Mataram Kartasura. Ulama Rahmatullahi dari Ngudung, Khatib Agung Masjid Agung Demak Bintara, beberapa kali disebut juga Kanjeng Sunan Kudus, atau dicampuradukkan dengan dia. Kanjeng Sunan Kudus pertama yang sebenarnya ialah anaknya. Sunan ini konon bernama Jafar Sidik. Pada mihrab masjid disebutkan al-qadhi Jafar Shadiq sebagai pendiri masjid. Pangarsane kaum agama.

Liputan JUGA  Sejarah Pelabuhan Tanjung Emas Semarang

Pada waktu Jafar Shodiq menginjakkan kaki di Kudus, kota itu masih bernama Tajug. Yang mula-mula mengembangkan kota Tajug adalah Kyai Telingsing. Ada yang menyebut, Telingsing merupakan panggilan sederhana kepada The Ling Sing, orang Cina beragama Islam. Kota itu sudah ngrembaka sebelum kedatangan Jafar Shodiq. Beberapa cerita tutur mempercayai bahwa Jafar Shodiq merupakan penghulu Demak Bintara. Di Tajug, Jafar Shodiq mula-mula hidup di tengah-tengah jamaah dalam kelompok kecil. Jamaah Jafar Shodiq itu merupakan para santri yang dibawanya dari Demak Bintara.

Para pengikutnya itu merupakan warga setempat yang dipekerjakan Jafar Shodiq untuk menggarap tanah ladang. Jafar Shodiq mula mula hidup dari penghasilan menggarap lahan pertanian. Beliau senantiasa menegakan disiplin, di samping itupun selalu taat kepada perintah atasan. Ketaatan dan keberaniannyalah yang menyebabkan beliau ditakuti dan disegani oleh bawahannya khususnya. Kanjeng Sunan Kudus kemudian membangun masjid sebagai tempat ibadah dan pusat penyebaran agama. Tempat ibadah yang diyakini dibangun oleh Kanjeng Sunan Kudus adalah Masjid Menara Kudus. Nama Jafar Shodiq atau Kanjeng Sunan Kudus tercatat dalam warta masjid.

Masjid ini didirikan pada 956 Hijriyah, sama dengan 1549 M. Dalam inskripsi terdapat kalimat berbahasa arab yang artinya. Telah mendirikan masjid Aqsa ini di Negeri Quds. Sangat jelas bahwa Jafar Shodiq menamakan masjid itu dengan sebutan Aqsa setara dengan Masjidil Aqsa. Ini merupakan masjid pusaka bagi umat Muslim.

Setiap bulan Rajab para raja dan Bupati Jawa berkumpul di kota Kudus. Mereka mendengar wejangan Kanjeng Sunan Kudus tentang keutamaan hidup. Beliau amat dihormati oleh segenap pejabat pemerintah. Kajen keringan marang sesamaning tumitah.

Kota Tajug juga mendapat nama baru, yakni Quds, yang kemudian berubah menjadi Kudus. Kanjeng Sunan Jafar Shodiq sendiri lebih kawentar dengan sebutan Kanjeng Sunan Kudus. Dalam menyebarkan agamanya, Kanjeng Sunan Kudus mengikuti gaya Kanjeng Sunan Kalijaga, yakni menggunakan model tut wuri handayani. Artinya, Kanjeng Sunan Kudus tidak melakukan perlawanan frontal, melainkan mengarahkan masyarakat sedikit demi sedikit. Sethithik mbaka Sethithik.

Jaman dulu masyarakat Kudus masih didominasi penganut Hindu. Maka, Kanjeng Sunan Kudus pun berusaha memasukan kebiasaan mereka ke dalam syariat Islam secara halus. Kanjeng Sunan Kudus justru menyembelih kerbau, bukan sapi, pada saat hari raya Idul Qurban. Itu merupakan bagian dari penghormatan Kanjeng Sunan Kudus kepada para pengikut Hindu. Demikian juga Kanjeng Sunan Kudus membangun sebuah menara untuk azan dengan desain seperti bangunan Hindu yang saat ini dikenal dengan nama Menara Kudus.

Menara Kudus berdiri megah. Adapun kata manara berasal dari bahasa Arab nar yang berarti api atau nur yang berarti cahaya. Awalan kata ma menunjukkan tempat. Dengan begitu menara berarti tempat menaruh api atau cahaya di atas. Akan tetapi kemudian menara mempunyai manfaat yang lain, yakni untuk mengumandangkan azan. Yaitu guna menyeru orang melakukan sembahyang. Keunikan Menara Kudus adalah bentuknya yang lain dari menara masjid yang lain. Bentuk menara ini justru menunjukkan corak dan gaya bangunan jaman pra-Islam. Tansah eling marang bibit kawite.

Pembangunan menara kudus itu pun melibatkan kasultanan Demak Bintara. Penguasa daerah Cirebon, Grobogan, Blora menyumbangkan kayu jati. Dengan senang hati mereka ikut serta secara bergiliran. Soko guru melambangkan kokohnya bangunan. Tiang atap menara tersebut terdapat sengkalan yang berbunyi, Gapura rusak ewahing jagad yang berarti tahun 1606 Jawa atau 1685 M (gapura = 6, rusak = 0, ewah = 6, jagad = 1).

Sengkalan tersebut hanya menunjukkan bahwa duk nalikaning itu terjadi perbaikan atab yang mulai rusak. Jadi kapan tepatnya dibangun bangunannya berarti kira kira beberapa puiluh tahun sebelum itu Menara Kudus bercorak bangunan Hindu, berbentuk mirip dengan Candi Jago, tempat perabuan raja Wisnuwardhana yang didirikan tahun 1275-1300 M. Tempatnya di dekat kota Malang.

Kayungyun pepoyaning kautaman. Cara yang simpatik itu membuat para penganut agama lain bersedia mendengarkan ceramah agama Islam dari Kanjeng Sunan Kudus. Surat Al Baqarah, yang dalam bahasa Arab artinya sapi, sering dibacakan Kanjeng Sunan Kudus untuk lebih memikat pendengar. Bangu-nan lain di sekitar Masjid Kudus, tidak meninggalkan unsur arsitektur Hindu, misalnya gapura-gapura.

  Banner Iklan Sariksa

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *